Edelweis Basah

Edelweis Basah

Langit sore terlihat muram. Matahari yang tadi menyengat kini entah bersembunyi di mana, tertutup awan yang pulasannya berwarna hitam. Mendung yang menggantung, seakan hendak runtuh. Sejurus kemudian, gerimis dari langit mulai jatuh ke bumi.

“Pulang yuk. Al. Gerimis,” suara pelan milik Jalu mengajaknya pergi.

Aldi menggeleng lemah. “Tinggalin aja gue di sini!” Isaknya masih terdengar.

Keenam sobatnya hanya bisa menghela napas lalu saling pandang. Kemudian mereka menyeret langkahnya. Butir-butir vertikal dari langit semakin cepatmenyentuh seluruh permukaan bumi. Dari jauh, mereka hanya bisa menatap prihatin sosok tubuh yang tengah diselimuti kesedihan itu. Baru kali ini mereka menyaksikan rasa kehilangan yang amat sangat keluar dari sorot matanya.

¨¨¨

Seorang gadis berambut sebahu dan bermata bening menebarkan senyum di kantin belakang sebuah kampus ekonomi. Kinan nama gadis itu. Lengkapnya: Kirana mandalawangi, tapi dia lebih suka kalau Aldi memanggilnya Kinan saja.

“Kirana itu cukup buat teman-teman saja, tapi kalo kamu harus panggil Kinan!” katanya mewajibkan pangerannya untuk memanggilnya dengan nama itu saja. “Itu panggilan kesayangan, Al,” senyumnya mengembang.

Dia memang cantik, itu benar. Sekilas senyumnya memancarkan senyum teduh Ine Febriyanti. Wanita yang selama ini menjadi idola bagi Aldi. Wajahnya begitu aristokrat, gerakannya lincah dan sempurna. Bila dia tersenyum seperti tadi, bibirnya yang mungil akan terbuka dan tampaklah keindahan lain, berupa sebaris gigi putihnya yang cemerlang. Apalagi siang itu tubuh semampainya dibungkus sweater biru dengan paduan span panjang warna cerah, menambah kesan lebih bagi orang yang memandangnya.

“Sudah lama nunggunya, Al?” Dan suaranya pun ternyata tak mengecewakan.

“Masih ada kuliah lagi, Nan?”

Aristokrat itu mengangguk, “Akuntasi biaya, setengah jam lagi,” sambil melirik arlojinya. “Eh, Al, tadi malem Kinan buat puisi, lho. Bagus, nggak?” dia mengangsurkan secarik kertas.

“Tumben? Mau jadi penyair, nih!” Aldi meledeknya. Senyum kecilnya keluar, tapi tak lama. “Ini puisi buatan kamu sendiri?” sembari matanya terus membaca barisan-barisan kalimat di kertas itu. Ada garis melintang menghiasi dahinya.

“Bagus, ya!” Gadisnya itu memuji sendiri.

“Kok kayak gini, sih, bikin puisinya. Nakutin!” Kerutan herannya belum hilang.

“Nakutin, gimana? Ah, itu mah hanya perasaan kamu saja kok Al!” guraunya sumbang.

Aldi mendelik. “Kamu kenapa sih, Nan? Jujur aja, akhir-akhir ini Al perhatiin tingkah laku kamu jadi aneh? Kamu lagi ada masalah, ya?”

“Kinan nggak kenapa-napa, kok!” gadis cantik itu berubah sikap, wajahnya dia tundukkan.

Kediaman sejenak merajut.

Aldi menghela napasnya. Dia membetulkan beberapa anak rambut yangjatuh di kening gadisnya, lantas berkata, “Minggu ini kamu jadi pergi ke Lembang, ngeliat Situ Lembang?” tanyanya membelokkan permasalahan.

Kinan mengangguk. “Kamu ikut kan, Al?”

“Kayaknya nggak bisa, Nan. Al mau ada rencana ke Gunung Gede, ngerayain Yogi yang baru keterima kerja. Itung-itung syukuran sembari ngeliput sampah yang numpuk di gunung itu buat laput buletin Jejak bulan ini.”

Gadis cantik itu membuang napasnya kuat-kuat. Ada kecewa yang dia rasakan. Gadis itu berharap pangerannya jadi membatalkan rencananya untuk mendaki Gunung Gede dan ikut dengan dirinya melihat Keindahan Situ Lembang.

“Jadi kamu nggak bisa ikut lagi?” Kembali suara paksaan gadisnya terdengar. Dipandangnya laki-laki yang telah menemani hari-harinya selama satu setengah tahun belakangan ini. Laki-laki yang telah membuatnya percaya akan adanya sebuah cinta dan kasih sayang, di saat perasaan itu hampir lepas darinya.

Aldi tersenyum kecil. “Kan baru kali ini Al nggak ikut. Kemaren-kemaren kan, bisa” digenggamnya lembut jemari gadisnya lantas dikecupnya pelan, “Al sudah janji sama teman-teman buat pendakian ini. Lagian kinan nggak biasanya seperti ini?”

Gadisnya itu tertunduk. Dipermainkan jemarinya, seolah-olah itulah jawaban yang bisa dia ungkapkan.

Entahlah belakangan ini rasa takut kehilangan kamu begitu besar. Aku sendiri enggak tahu kenapa jadi begini. Sehari saja nggak ketemu, rasa kehilangan itu makin membesar dan membesar…

“Nan…” pangerannya memotong lamunannya. Ditatapnya Aldi yang tengah memandangnya lekat.

“Kinan nggak kenapa-napa kan?” Ada nada khawatir dalam suara Aldi.

Kirana menggeleng.

“Emang udah lo apain aja sih dia sampe bisa berubah kayak gitu?” Jalu, pernah menanyainya beberapa hari yang lalu.

“Berubah, gimana?” Aldi menautkan alisnya.

“Kirana sekarang jadi sentimentil dan senang menyendiri, Al,” Jalu menghembuskan asap rokoknya. “Trus pembawaannya tuh kangen mulu sama lo!” Laki-laki berambut ikal itu tertawa.

Aldi meninju bahunya.

“Kinan masuk dulu ya, Al?” suara Aristokrat membuyarkan lamunannya. Gadisnya itu bangkit dan melangkah keluar kantin.

Aldi menggangguk meski masih diliputi kebingungan. Dipandanginya langkah gadisnya yang menghilang di balik pintu kantin. Tangannya lalu mengambil selembar kertas berisi bait-bait puisi buatan gadisnya itu. Membacanya lagi. Kok, kamu bikin puisinya kayak gini sih? Katanya seraya melipat kertas itu dan menyimpannya di saku kemeja flanel kotak-kotaknya.

¨¨¨

Go to the top!” Jhon melonjak girang. Yang lainnya cuma tersenyum saja melihat kelakuan sobatnya yang norak itu. Tapi wajar saja dia berkelakuan seperti itu, soalnya baru pendakian ketiga kalinya ini niatnya mendaki Gede-Pangrango tercapai.

“Ayo, ah!” Yogi mengajaknya jalan lagi.

“Kalem wae lah leumpangna!” Daniel bangun, menepis-nepiskan celana bagian belakangnya.

Untuk yang kesekian kalinya ketujuh pendaki itu terbungkuk-bungkuk ditindih ranselnya. Di kiri-kanan jalur, pohon-pohon raksasa menjulang tinggi. Gemericik air pun terdengar di sela-sela bunyi sepatu terantuk batu. Sepuluh-dua puluh langkah, mereka berhenti dulu. Napas yang sepotong-sepotong keluar masuk ke paru-paru dan ke hidung terasa merasakan kempas-kempis di dada.

Tanpa terasa simpang air terjun Cibeureum terlewati, dan jalan semakin menanjak berliku-liku. Tiba di pos air panas, mereka berhenti untuk masak mie dan bikin kopi. Dinginnya angin pegunungan mulai menyentuh pori-pori mereka, dan simphoni binatang malam pun mulai terdengar.

Kira-kira satu jam perjalanan dari Kandang Batu, akhirnya sampailah mereka di pos terakhir yaitu Kandang Badak. Di pos inilah biasanya para pendaki meluangkan waktu agak lama, sebelum naik ke puncak Gede atau Pangrango. Bila liburan tiba atau hari kemerdekaan, pos ini akan penuh sesak oleh para pendaki yang mempunyai niat menghormat sang saka merah-putih di puncak Gede. Tapi bila hari-hari biasa, para pendaki tidak terlalu membludak memenuhi Kandang Badak. Seperti saat ini, hanya tiga kelompok termasuk mereka yang punya maksud mendaki.

“Siap-siap, Al! Kita berangkat sepuluh menit lagi!” teriak Jalu dari dalam.

Aldi tak menjawab sahutan sobatnya itu. Dia masih saja duduk termenung di teras Kandang Badak. Matanya menatap tenda-tenda yang menyelimuti mimpi para penghuninya.

“Aldi kenapa, sih, dari tadi ngelamun terus?” Daniel menyikut Jhon yang tengah menyiapkan perbekalan airnya.

“Di mana?”

“Tuh, di luar sendirian,” laki-laki pemegang ban hitam taekwondo itu hanya menunjuk dengan dagunya.

Usai packing barang, Jhon menghampiri sobatnya yang duduk mematung. Ditepuknya pelan pundak Aldi. “Lo udah packing barang, Al?” Jhon menyulut sigaretnya.

Aldi menganggukkan kepala, tanpa menoleh.

“Lo kenapa sih, Al? Dari tadi gue lihat ngelamun terus. Beda dari biasanya.”

Aldi menjentikkan sisa rokoknya yang belum habis. Dia menepuk-nepuk pundak sobatnya. “Gue nggak apa-apa, Jhon.” Ada senyum yang dipaksakan di sana. “Gue mau periksa carrier dulu,” dia masuk ke dalam.

Kabut semakin memagut, membekukan tubuh. Dingin pun makin menusuk tulang. Setelah istirahat beberapa jam, mereka kini telah bersiap-siap kembali dengan ranselnya. Dari Kandang Badak, mula-mula jalan masih agak datar sampai simpangan ke kawah. Tak lama kemudian ada simpangan lagi. Ke kiri menuju puncak Gede dan ke kanan ke arah Pangrango. Ketujuh pendaki itu mengambil jalur ke kiri, ke puncak Gede.

Beberapa jam terlewati. Kini sampailah mereka di sebuah tebing yang sangat terjal, hampir tegak lurus. Bongkahan batu vulkanis menyembul di sana-sini, dan di sisi-sisi jalan sepanjang tanjakan itu terpasang tali pengaman. Vegetasi di areal ini masih sangat rapat meskipun sudah mulai agak kerdil. Pohon santigi gunung paling dominan menguasai jalur ini. Tampak juga edelweiss jawa di sela-sela perdu gandapura.

“Jalu, lo jadi leader!” teriak Daniel dari belakang.

Pelan-pelan mereka mulai merayap, disusul sobat-sobatnya. Mereka benar-benar bagai cicak. Berpegangan pada tali pengaman, tonjolan batu atau akar santigi. Sementara tangan satunya lagi menggenggam senter yang mulai redup cahayanya. Empat-lima langkah mereka berhenti sebentar untuk mengatur napas, tanpa bisa merubah posisi sama sekali.

“Heh, ngelamun lagi!” Daniel menegurnya.

Aldi tersenyum kecut. Pikirannya memang sedang tidak tercurah ke jalur. Dia membayangkan mimpi-mimpi semalam. Tentang Kirana dan juga ombak besar yang memisahkan mereka. Mimpi menyeramkan yang membuatnya terjaga dan tiba-tiba saja dia jadi teringat akan gadisnya. Pertanda apa ini, Al? Dia membuang napasnya kuat-kuat, menyingkirkan mimpi menyeramkan itu jauh-jauh.

Merayap kembali dilanjutkan.

Tiba-tiba saja batu yang tengah diinjak Aldi lepas dari cengkraman tanah tebing, lalu longsor ke tanah. Sialnya lagi, dahan santigi yang tengah jadi pegangannya pun ternyata lapuk. Dan remaja yang sedang dilanda kebingungan itu sudah tak sempat lagi buat menggapai tali pengaman!

“Mampus gue!” teriaknya tanpa sadar.

Aldi terguling-guling. Akar dan batang santigi malang-melintang berseliweran menyelimuti tubuhnya. Debu dan pasir berhamburan. Lereng tanjakan yang terjal dan penuh tonjolan batu itu kini siap menyentuhnya. Sepersekian detik lagi batu cadas menyentuh tubuhnya, tiba-tiba sosok tangan kerempeng milik Daniel menyambarnya dalam waktu yang tepat.

“Lo nggak apa-apa, Al?” tanyanya cemas.

Dia mengatur napasnya yang memburu. “Badan gue masih lengkap kan?” katanya mencoba melucu.

“Berengsek!” Makinya tertawa-tawa.

Tiga pendaki yang terpisah dari kelompoknya itu pelan-pelan kembali merayap. Burung makin ramai menyambut kehidupan baru. Udara makin dingin dan tipis, sementara bau belerang yang keluar dari tiga kawah di Gunung Gede makin terasa menyengat. Jalan setapak itu mulai melandai.

Puncak Gede yang memiliki ketinggian 2958 mdpl kini sudah tampak di depan mata, sementara tebing paling terjal itu telah berada jauh di bawah mereka. Nun di bawah sana, padang edelweiss Suryakencana turut menyambut kehidupan baru dengan memancarkan kilaunya yang keperak-perakan.

¨¨¨

Adzan Isya baru saja lepas ke angkasa, saat tapak sepatu milik seorang remaja melompat turun di ruas utama kota Bandung. “Gue turun di sini, ya!” teriaknya sambil melambaikan tangan pada sobat-sobatnya. Setelah menepiskan debu-debu yang menempel di tubuhnya, sepasang kaki itu mulai menyeberang.

Langkahnya sekarang membelok ke kanan. Dari belokan ini, rumah Kinan hanya tinggal beberapa meter saja. Kian dekat ke rumah gadisnya, perasan gelisah itu semakin melecutnya. Tidak seperti biasanya, dia melihat keramaian di rumah gadisnya. Juga ayat-ayat suci dilantunkan.

Ada apa, sih?

Assalamualaikum…,” salamnya pada orang-orang yang ada di teras.

Orang-orang itu menjawab salamnya. Seraut wajah milik Mbak Lies – salah satu dari dua wanita yang kost di rumah Kirana – muncul di ambang pintu.

“Aldi?” Bergetar suaranya. Perempuan itu seketika langsung menghapus sisa airmata yang masih membasahi pipinya.

Aldi tersenyum sembari mengangguk. “Mbak Lies, kenapa?”

Belum saja pertanyaannya dijawab, seorang bapak berwajah kharismatik keluar dan berdiri di samping Mbak Lies. “Adik mau ketemu siapa, ya?”

Semua mata kini memandang dirinya, carrier serta sepatu gunungnya yang belum sempat dibuka. Dia risih juga jadi pusat perhatian seperti itu. “Mau ketemu Kirana, Pak,” katanya lalu matanya menatap perempuan yang tengah menyusutkan airmatanya itu.

“Kirana-nya ada, Mbak?” sambungnya menutupi kegugupan.

Bening yang tadi masih tersisa di kedua bola mata milik Mbak Lies, kembali meluncur ke pipinya. Aldi makin bingung. Jelas terlihat sesuatu yang disembunyikan perempuan itu.

“Kenapa dengan Kirana, Mbak? …Pak?” Matanya meminta jawaban dari mereka.

Bapak kharismatik itu mengangguk-angguk pelan, lantas, “Manusia memang takkan pernah tahu tentang rahasia Tuhan ya, Dik,” katanya memulai, “jodoh, umur, rezeki dan takdir semua adalah urusan Yang Di Atas…”

Aldi bukannya tak mau mendengar namun sejak pendakian kemarin segala macam perasaan sudah menjajahnya, juga mimpi-mimpi itu. Dan itu membuat dia jadi tak bisa mengontrol emosinya.

“Ada apa dengan Kirana, Pak…?! Apa yang sudah terjadi…?!” tanyanya meledak-ledak. Orang-orang yang berada di dalam langsung keluar mengerubutinya. Tapi Aldi sudah tak peduli lagi.

Bapak kharismatik itu lalu menceritakan musibah yang dialami Kirana dan kawan-kawannya. Gadisnya itu mengalami kecelakaan di daerah Ciranjang. Sewaktu Jimny biru milik gadisnya yang saat itu dikemudikan oleh kawannya hendak menyalip angkot, tiba-tiba dari arah berlawanan datang truk semen dengan kecepatan maksimum, dan tabrakan itupun tak bisa dihindari lagi!

“Ki-Kirana…!!!” Remaja itu mengguncang-guncangkan bahu si bapak. Ada kecemasan yang amat sangat dalam suaranya.

“Semua selamat, kecuali Kirana…,” bapak itu menggantungkan kalimatnya, “dia langsung terlempar begitu truk semen itu menghantam mobilnya. Kepalanya membentur trotoar!” Bapak itu menghela napas kemudian tertunduk.

“Kirana sudah nggak ada, Al!” tegas Mbak Lies bercampur isak tangisnya.

Aldi terhenyak, tak percaya mendengarnya. Tiba-tiba dia merasa bagai ada godam raksasa menghantam kepalanya saat itu. Tubuhnya seketika luruh. Tulang-tulangnya serasa lolos dari badannya, lalu dia roboh ke lantai. Orang-orang serentak memapahnya ke kursi. Kelopak matanya terlihat kosong dan berkaca-kaca.

Makhluk Tuhan yang selama ini begitu dekat dengannya, yang mau begitu mengerti kegelisahan dirinya, yang mau berbagi suka dan duka dengannya, kini telah pergi meninggalkannya. Terjawab sudah berbagai pertanyaan dan sikap aneh gadisnya belakangan ini, juga mimpi-mimpi itu. Tuntas sudah perasaan gundah yang kemarin begitu menyelimutinya.

Ya, kini semuanya telah terjawab hanya dengan beberapa kata: kematian! Dan segalanya jadi tak berarti.

Oh, Tuhan!

¨¨¨

“Kita pulang, Al?” Suara pelan milik Daniel membuyarkan lamunannya.

Hujan telah lama berhenti, namun rinainya masih jatuh membasahi bumi. Angin sore pekuburan mulai bertingkah menerbangkan daun-daun kamboja yang berserakan.

Gelap sebentar lagi menjemput.

“Hampir malam, Al,” Jalu mengingatkan.

Aldi masih bersimpuh di sisi makam. Dia memang masih sulit mempercayai, bahwa Kirana kini benar-benar telah pergi meninggalkannya. Ah, sepertinya baru kemarin kita melewati hari-hari indah bersama, camping di Rancaupas, merangkai cita dan masa depan tapi segalanya sekarang berakhir tanpa sisa. Musnah ditelan bumi. Dan cerita cinta pun terpaksa harus ditutup dengan airmata kesedihan.

“Maafin Al ya, Kinan. Kalau saja saya tahu arti puisi kamu itu, mungkin hari ini kamu masih ada di sini. Masih nemenin Aldi!” Dia sepertinya ingin menyalahi takdir.

Yogi dan Jhonikut merangkulnya, memberi kekuatan pada sobatnya itu.

Dipandanginya lagi pusara yang masih beraroma basah tanah merah, sambil sesekali tangannya mencabut bakal rumput liar yang coba tumbuh di atas makam gadisnya. Lalu tangannya mengambil secarik kertas dari saku kemejanya. Dengan suara lirih dan terbata-bata, Aldi membacanya…

Kasih

Bila usiaku sampai di sini

Izinkanlah aku pergi, tanpa ada genangan airmata

Karena usia bukanlah aku yang punya

Tapi satu pintaku, kasih;

Taburkanlah setangkai edelweiss basah, dengan senyum di pusaraku

Kepergianku bukan untuk ditangisi

Aku pergi ke tempat yang damai, atau

Ke tempat yang abadi, seperti:

K a m u

Yang selalu abadi dalam hatiku.

Beberapa kali suaranya tercekat di kerongkongan saat membaca puisi goresan tangan gadisnya itu, namun dia paksakan juga untuk membacanya sampai tuntas. Satu-dua tetes airmatanya kembali jatuh menyentuh makam.

Aldi serasa mendapatkan kiamat hebat bagi dunianya yang ia genggam. Kata hancur mungkin belum cukup untuk melampiaskan perasaan kekecewaan yang amat sangat padanya.

“Selamat jalan, Kinan!” isaknya sambil tangannya memeluk nisan dan mencium nama gadisnya.

Sobat-sobatnya yang menyaksikan drama kesedihan itu, hanya bisa tertegun dengan mata berkaca-kaca. Jhon malah menyembunyikan airmatanya yang telah jatuh dengan menatap langit yang hampir gelap. Mereka memang merasakan juga perasaan kehilangan yang kini tengah dialami sobatnya. Rasa kehilangan yang belum tentu mereka sendiri mampu menerimanya bila itu menimpa mereka.

Aldi menanam setangkai edelweis basah di atas pusara dan mencium kembali nisan yang tertulis nama gadisnya, untuk yang kesekian kali. Dia lalu bangkit dan menatap sejenak tanah merah yang kini telah menjadi pembatas dunia mereka. Kemudian dia baru mulai menyeret langkahnya disusul enam pasang langkah sobat-sobatnya.

Baru beberapa langkah, Aldi menengok kembali gundukan yang hampir disergap kegelapan itu. Hatinya sebenarnya tak kuasa meninggalkan gadisnya itu sendiri. Tapi dalam gambaran senja dan derasnya gerimis hujan, dia melihat ada sekuntum bunga kamboja basah melayang jatuh di sisi edelweiss basahyang baru ditanamnya.

Ki-Kinan…? batinnya meratap. ***

About edelweisbasah

Sekuntum edelweisbasah menjadi sejarah kisah gundah bagi langkah-langkah penjelajah resah, atas nama patah, atas segala yang fana. Author Novel Bara Surat Terakhir Seorang Pengelana, Journalist Freelance, Penikmat kopi hitam. _____ Twitter: @edelweisbasah Instagram: @edelweisbasah Youtube: Edelweis Basah Contact: edelweisbasah_ [Line]
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment